Ketika organisasi mengaplikasikan sistem manajemen mutu (SMM) ISO 9001, bagi banyak pihak, berarti sepatutnya membuat banyak prosedur kerja. Anggapan ini tak dapat dikatakan keliru. Kenapa?
Pertama, dalam dunia ilmu manajemen, ada konsep yang cukup diakui bernama “pendekatan kontijensi”, artinya tak ada satupun pendekatan tunggal untuk segala tipe situasi manajemen. Boleh jadi, memang untuk organisasi tertentu perlu banyak membuat prosedur kerja & itu lebih tepat sasaran.
Kedua, dan mungkin ini yang banyak terjadi, ketika audit sertifikasi ISO 9001, kita bisa dapatkan auditor lembaga sertifikasi meminta “prosedur kerja”. Permintaan auditor ini ditafsirkan sebagai sebuah kewajiban.
Lalu, hakekatnya apa saja prosedur kerja yang perlu dibuat untuk mengaplikasikan ISO 9001:2015?
Standar ISO 9001:2015 memang agak unik dari sisi dilema “perproseduran” ini. Pertama, berbeda dengan versi sebelumnya, ia tak lagi memakai istilah “dokumen” & “rekaman” melainkan “informasi terdokumentasi”. ISO TC 176, komite kerja ISO yang membidangi standar ini, menyebut salah satu alasan perubahan istilah itu untuk menekankan soal fleksibilitas dokumentasi & menekankan kembali bahwa SMM ISO 9001 bukan sistem untuk mendokumentasikan. Kedua, standar ini sama sekali tak mewajibkan satupun prosedur yang patut dibuatoleh organisasi. Malahan, sekiranya kita memakai terminologi “dokumen”, standar ini hanya mewajibkan tiga dokumen, yakni ruang lingkup pengaplikasian ISO 9001, kebijakan mutu & sasaran mutu. Meskipun di versi 2008, ISO 9001 masih mewajibkan adanya Manual Mutu & 6 Prosedur wajib (pengendalian dokumen, rekaman, produk tak sesuai, audit internal, tindakan perbaikan & tindakan pencegahan) selain kebijakan & sasaran mutu.
Dari karakteristik di atas, artinya, organisasi yang mengaplikasikan ISO 9001:2015 punya keleluasaan apakah berkeinginan membuat prosedur untuk segala proses, sebagian cara kerja, atau sama sekali tidak membuat prosedur. Lalu, mana yang semestinya dipilih?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada bagusnya kita pahami dahulu apa beda prosedur dan proses. Kalau kita lihat standar ISO 9000:2015, dapat kita sebut proses itu terkait dengan aktivitas mengubah suatu input menjadi suatu output sedangkan prosedur itu terkait dengan cara dalam menjalankan aktivitas tersebut seperti urutannya, caranya, dan sebagainya. Membuat prosedur artinya organisasi menstandarisasikan cara dalam melakukan aktivitas merubah input menjadi output. Ini berarti tiap-tiap organisasi pasti mempunyai cara kerja tetapi belum tentu memiliki prosedur.
Untuk lebih jelasnya, saya berikan contoh proses penerimaan order. Semua organisasi pasti melakukan proses ini, menerima permintaan lalu mengubahnya menjadi persetujuan kepada order, dalam wujud kontrak atau dokumen penjualan lain. Namun, tak setiap organisasi menstandarisasikannya. Semisal, setiap penerimaan order wajib melalui kajian kesanggupan dan sebelum disetujui. Tanpa standarisasi atau prosedur tersebut, berarti personel organisasi boleh dengan cara apapun merubah permintaan order menjadi persetujuan order.
Kembali ke pertanyaan awal, lalu sebaiknya apa yang organisasi patut pilih berkaitan dengan perproseduran ini? Tak ada jawaban yang pasti. Semua dikembalikan ke konteks masing-masing organisasi.
Untuk menetapkan pilihan itu, ISO 9001:2015 mengarahkan organisasi seperti ini. Pertama, organisasi perlu menetapkan input & output suatu proses. Setelah itu, menetapkan kriteria efektifitas dari proses tersebut. Organisasi dapat menetapkan apakah perlu membuat prosedur atau tidak dengan mempelajari apakah proses akan lebih tepat sasaran atau tidak dengan prosedur. Apabila lebih efektif, membuat prosedur merupakan pilihan bijak. Sekiranya sama saja antara ada prosedur dan tak ada prosedur, organisasi perlu menganalisa bagaimana alih pengetahuan dan integritas dari para personelnya. Jikalau cukup baik, membuat prosedur hanya menambah beban kerja saja.